Hay friends, Dengerin lagu yuks
Hehehehe ..
Hay friends,,,??
My Name is Irvan Efendy
I am Indonesian people
Aye ingin sekali jadi artiss :) HeHeHee...
Hopefully all useful
Thank you .



WWW.DATUKIMAN.COM

PEDULI ANAK YATIM DAN DHUAFA'

Jumat, 29 April 2016

Aqidah Ahlus sunnah Wal Jama'ah



Segala puji bagi Allah , sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Islam”. (Ali-Imran : 102).
Begitu pula kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk.
“Artinya : Ya Allah, janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami hidayah”. (Ali Imran : 8).
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan semoga ridla-Nya selalu dilimpahkan kepada para sahabatnya yang shalih dan suci, baik dari kalangan Muhajirin mupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama ada waktu malam dan siang.
Wa ba’du : Inilah beberapa kalimat ringkas tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka terpecah belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (da’wah) kontemporer dan jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya ; mengklaim bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jama’ah mana dia harus ikut bergabung. Bahkan seorang kafir yang ingin masuk Islam-pun bingung. Islam apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya ; yakni ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang Islam : “Islam itu tertutup oleh kaumnya sendiri”, yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten (menetapi) dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).
Maka, Pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang tetap teguh (konsisten) memegang ajarannya dan memelihara serta membelanya sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya (dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela …”. (Al-Maaidah : 54).
Dan firman Allah.
“Artinya : Ingatlah kamu ini. orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Maka diantara kamu ada yang bakhil barang siapa bakhil berarti dia bakhil pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti ( kamu) dengan kaum selain kalian dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. (Muhammad : 38).
Golongan atau jama’ah yang dimaksud adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
“Artinya : Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian”. (Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam Nawawy).
Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili Islam yang benar, Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mengambil contoh dari berjalan pada jalan mereka dan agar supaya orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa bergabung.

AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH

Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka kemudian sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka belum pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya : Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”.
Yang kemudian dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama) :
“Padahal milik Allah-lah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami”. (Al-Munafiqun : 7).
Demikian pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.
“Artinya : Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran”. (Ali Imran : 72).
Walaupun demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.
Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum Anshar tentang permusuhan diantara mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya’ir diantara mereka. Allah membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman”.(Ali Imran : 100).
Sampai pada firman Allah.
“Artinya : Pada hari yang diwaktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran : 106).
Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan mengingatkan mereka ni’mat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan demikian gagallah pula makar Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan perpecahan sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas ……”.(Ali-Imran : 105).
Dan firman-Nya pula.
“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah ….”.(Ali-Imran : 103).
Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.
“Artinya : Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa’rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).
Dan sabdanya pula.
“Artinya : Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).
Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya : Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya”.(Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan Muslim 6/juz 16 hal 86-87 Syarah An-Nawawy).
Perawi hadits ini berkata : “saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali”.
Yang demikian tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi’in dan pengikut para tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya.
Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.
“Artinya : Mereka yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini” (Telah berlalu penjelasannya di atas -peny).
Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman.
“Artinya : Maka mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi kecuali sebagian kecil diantara orang-orang yang telah kami selamatkan diantara mereka, dan orang-orang yang dzolim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka ; dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (Huud : 116).
NAMA-NAMA AL-FIQOTUN NAAJIYAH DAN ARTINYA

Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain. Dan diantara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah sebagai berikut.
Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak masuk kedalam neraka”.(Telah terdahulu keterangannya)
Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini”.(Telah terdahulu keterangannya)
Bahwasanya pemeluk kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ; pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji’ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.
Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah : “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka”. (Muhammad : 7) . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :“Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian”. (Telah terdahulu keterangannya).
Sesungguhnynya Ahlus Sunnah wal Jama’ah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam itiqad, amal maupun perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang oleh para pendahulu umat dari kalangan sahabat, tabi’in dan para pengikut mereka yang setia.

Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut :

Prinsip Pertama

Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.
1. Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beriti’qad dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid uluuhiyyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu disyari’atkan oleh-Nya seperti berdo’a, takut, rojaa’ (harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr (janji), isti’aanah (minta pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan), al-isti’adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasuln-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih(penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian), dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Asy-Syuro : 11)
Dan firman Allah pula.
“Artinya : Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya”. (Al-A’raf : 180).
2. Beriman kepada Para Malaikat-Nya
Yakni membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk dari sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.
“Artinya : ….Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dumuliakan, mereka tidak mendahulu-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”. (Al-Anbiyaa : 26-27).
“Artinya : Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki”. (Faathir : 1)
3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur’an yang merupakan mu’jizat yang agung. Allah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (Hai Muhammad) : ‘sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu”. (Al-isra : 88)
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengimani bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah mahluq baik huruf maupun artinya. Berebda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asyaa’irah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman) Allah hanyalah artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil berdasarkan firman Allah.
“Artinya : Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur’an)”. (At-Taubah : 6)
“Artinya : Mereka itu ingin merubah KALAM Allah”. (Al-Fath : 15)
4. Iman Kepada Para Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada Nabi kita secara terperinci serta mengimani bahwasanya beliau adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak ada nabi sesudahnya ; maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan Allah.
“Artinya : Dan orang-orang Yahudi berkata : ‘Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :’Isa Al-Masih itu anak Allah…”.( At-Taubah : 30)
Sedang orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. Orang-orang Yahudi telah -kafir terhadap Nabi Isa dan Muhammad ‘alaihima shalatu wa sallam ; sedangkan orang-orang Nashara telah kafir kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang-orang yang mengimani sebagian- mengingkari sebagian (dari para rasul Allah), maka dia telah mengingkari dengan seluruh rasul, Allah telah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kafur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimana kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan mengatakan : Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan diantara yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang menghinakan”. (An-Nisaa : 150-151).
Dan Allah juga berfirman.
“Artinya : Kami tidak mebeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ….”.(Al-Baqarah : 285)
5. Iman Kepada Hari Akhirat
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan neraka. Disamping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat dari padanya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah.
“Artinya : Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata : ‘Sekali-kali tidaklah masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ……”.(Al-Baqarah : 111).
“Artinya : Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja”. (Al-Baqarah : 80).
6. Iman kepada taqdir.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta’at, ma’shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu mencintai keta’atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta’atan atau ma’shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya.
“Artinya : Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya”. (At-Takwir : 29)
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba menghadapi cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.

Prinsip Kedua

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.
“Artinya : Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)
“Artinya : ……. karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)
“Artinya : Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam” (Al-Ankabut : 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah ; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).
“Artinya : Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al-Baqarah : 143).
Prinsip Ketiga

Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa : 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta’at dengan adanya kekafiran.

Prinsip Keempat

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema’skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.
“Artinya : Barangsiapa yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

Prinsip Kelima

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.

Prinsip Keenam

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
“Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.

Prinsip Ketujuh

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya : Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
“Artinya : Wahai wanita-wanita nabi ……..”.(Al-Ahzab : 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.
“Artinya : Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab : 1).
Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.

Prinsip Kedelapan

Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.

Prinsip Kesembilan

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya : Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk”. (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
“Artinya : Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far’i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

Penutup

Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa ber-akhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.

Diantara sifat-sifat yang agung itu adalah :

Pertama

Mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar seperti yang telah diwajibkan syari’at dalam firman Allah berikut.
“Artinya : Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah”. (Ali-Imran : 110).

“Artinya : Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman”.(Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa’id Al-Khudry).
Sekali lagi, amar ma’ruf nahi munkar hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari’at. Sedangkan golongan Muta’zilah mengeluarkan amar ma’ruf dan nahi munkar dari apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan ma’shiyat walaupun belum termasuk perbuatan kufur. Sedang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memandang wajib menasehati mereka dalam hal kema’shiyatannya tanpa harus memberontak kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Barangkali hampir tidak dikenal suatu kelompok keluar memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemunkaran (melalui cara pemberontakan tersebut).

Kedua.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjaga tetap tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah sebagai pembeda terhadap kalangan ahlul bid’ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat Jama’ah.

Ketiga

Menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Ad-Din itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya”.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary).

“Artinya : Mu’min yang satu bagi mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim 6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).
Keempat.

Mereka tegar dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni’matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.

Kelima

Bahwasanya mereka selalu berahlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sesuai dengan firman Allah.
“Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (An-Nisaa : 36)

“Artinya : Sesempurna-sempurna iman seorang mu’min adalah yang baik ahlaknya”. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.

Asal usul kota Pekalongan

Logo Kota Pekalongan (www.datukiman.com)


Kalau kita teliti dan pelajari lebih dalam apa yang terdapat dalm legenda bab maasalah asal – usul Nama Pekalongan yang sampai kini meluas dan masih hidup di kalangan masyarakat, keseluruhannya saling berbeda dan tanpa sadar kejelasan berdasarkan fakta. Kesemuanya serba di buat – buat menurut versi penceritaannya dimana asalnya dari leluhurnya ( turun menurun ).Sedang versinyapun satu sama lainnya serba dibumbuhi yang seakan – akan berkejadian dalam kisah itu sendiri perlu kita pelajari secara teliti, lakon legenda itu adalah berisikan suatu sandi ataupun lainnya lainnya, dimana kemungkinan didalamnya terisikan suatu sandi ataupun lainnya lainnya, dimana kemungkinan didalamnya terkandung mutiara – mutiara yang kita cari, ataupun bisa digunakan bahan pembanding didalam penelusuran lebih mendalam.• TOPO NGALONG.
Legenda menerangkan bahwa Pekalongan adalah dari TOPO NGALONG – nya Joko Bau ( Bau Rekso ) yang dianggapnya pahlawan daerahnya kota Pekalongan yang kemudian menjadi Pahlawan Mataram yang berasal dari Kesesi Kabupaten Pekalongan Putra Kyai Cempaluk.
Dikisahlkan tatkala Joko Bau bertapa di alas Gambiran ( kemudian menjadi Gambaran Muka PLN Pekalognan ) tak ada satupun yang bisa dapat menggugahnya termasuk Raden Ngaten Dewi Lanjar ( ratu segoro Lor ) . Godaan – godaan dari prajurit silumannya dewi lanjar Bisa dikalahkan dengan kekuatan gaibnya Joko Bau yang dalm kisah selanjutnya Dewi Lanjar kemudian bertekuk lutut dan dipersuntingnya.
Satu –satunya yang bisa menggugah Topo Ngalongnya Joko Bau adalah TAN KWIE DJAN yang mendapat tugas dari mataram.
Tan Kwie Djan berhasil, yang akhirnya bersama sowan Mataram untuk menerima tugas lebih lanjut.
Dari asal Topo Ngalong inilah kemudian timbul Nama Pekalongan, Karena waktu topo Ngalong INI jamannya Sultan Agung , maka timbullah ” NAMA PEKALONGAN ” menurut versi ini seputar abad 17. ( dalam sejarah Bau Rekso gugur 21 september 1628 di batavia dalam peperangan melawan VOC).
Versi Topo Ngalongnya Joko Bau ini berbeda tempat, ada yang menerangkan di Kesesi , Wiradesa dan ada yang terangkan di antara Ulujamu – Comal – Kesesi, di alun – alun Pekalongan , Slamaran.
• KALINGGA.
Sementara masyarakat Pekalonga beranggapan bahwa letak kerajaan Kalingga konon adalah di desa Linggoasri kecamatan Kajen Kabupaten pekalongan yang sekarang , dari Klingga inillah kemudian dihubungkan dengan kata kaling, keling, kalang, dan akhirnya menjadi kalong. Dan dari kata kalong kemudian timbullah nama Pekalongan.
Karen kerajaan kalingga di abad 6 – 7, maka timbulnya nama Pekalongan menurut versi ini seputar abad 6 s/d 7.
• KALONG ( KELELAWAR )
Dari asal kata kalong ( kelelawar ) , karena di Pekalongan dulunya banyak kelelawar / kalong, terutama di daerah kesesi dimana asal mula Bau Rekso dilahirkan dari keluarga Kyai Cempaluk. Dalam versi yang sama, tempatnya lain, yakni dikisahkan di sepanjang kali Pekalongan ( kergon ) , dimana disini dulunya dulunya diatas pohon Slumpring banyak binatang kelelawarnya dan ju8ga diatas Randu Gembyang ( kandang panjang Kodia Pekalongan ) yang bnyak kelelawarnya dan merupakan tanda bagi kaum nelayan yang biasa dijadikan pedoman bahwa disitu adalah pantai, yang kemudian dinamakan Pekalongan.
Inipun terjadi seputar abad ke 17 ( jamannya Bau Rekso)
• KALANG.
Pekalongan , ada yang menerangkan dari kata kalang dan kalang disinipun sebenarnya ada beberapa pengertian Yakni :
1. Asal kata dari Kalingga – keling dan kemudian kalang .
2. Kalang yang berarti hilir mudik .
3. Kalang berarti sama sejenis ikan laut ( cakalang ) .
4. Kalang yang berarti diasingkan ke....( di selong ) .
Di dalam satu cerita rakyat daerah Pekalongan ini bermula berupa Hutan semak – semak yang banyak setan, silumanny dan tempat tersebut merupakan suatu tempat yang ditakuti oleh siapapun. Oleh Mataram kemudian tempat semacam ini dipergunakan untuk pembuangan sebagai hukuman bagi orang – orang yang membangkang pada Mataram ataupun yang di anggapnya membahayakan bagi mataram sendiri.,Diantaranya yang dikalang disini menurut cerita adalah Bau Rekso yang tadinnya putra Mataram.Dari kata ini pada masa selanjutnya kalang berkembang menjadi kalong dan kemudian Pekalongan . juga sebelumnya ada yang menyebutnya Pekalangan. Disamping itu kalang ada yang mengartikan gelanggang, sekelompok dsb .
• ASAL DAERAH SEMULA .
Pekalongan yang di Pekalongan yang sekarang ini sebermula pindahan dari daerah Pekalongan yang terletak di Surabaya Jawa Timur, sebagai transmigran istilah sekarang .
Kapan mulai pindah kepesisir utara yang kemudian di namakan Pekalongan seperti daerah asalnya belumlah jelas ( keterangan ; Peta Surabaya Tauhun 1866 , di daerah ini tercantum Nama Pekalongan sebagai Wilayah dan sungai ) .
• PEK ALONG .
Diteliti asal katanya pek dan along ini bermacam pula artinya , diantaranya adalah berarti ;
Pek = seratus , pak de ( si wo ) , luru ( mencari , apek ), sedang Along yang tadinya halong , adalah bahasa sehari – hari nelayan yang berarti mendapat banyak .
Pek Along kemudian berarti , mencari ikan di laut mendapat ( hasil ). Dari Pek Along , kemudian menjadi A – Pek – H – Long – An = Pekalongan , dan bagi masyarakat sendiri dikromokan menjadi PENGANGSALAN, ( angsal = dapat ) . jadi agaknya mendekati kebenaran .
Rupa – rupanya dari itulah kemudian keluarlah keterangan masalah Lambang yang di pakai Kodia Pekalongan sampai sekarang ini , dimana awalnya dari produk dewan perwakilan rakyat Daerah Kota Besar Pekalongan tertanggal 29 januari 1957 dan di perkuat lagi dengan dicantumkannya tambahan Lembaran Daerah Swatantra tingkat 1 Jawa tengah tanggal 15 Desember 1958 , seri B Nomor 11 . dan juga dikisahkan oleh menteri dalam Negeri dengan keputusannya tanggal 4 Desember 1958 , N0omor ; KPTS – PPD / 00351 / 11 / 1958 .
MAKAM KERAMAT SAPURO

     Makam keramat Sapuro Kota Pekalongan yang lokasinya dekat dengan jalur pantura ini laksana magnet bagi masyarakat Kota Batik Pekalongan dan sekitarnya. Komplek pemakaman umum kelurahan Sapuro ini menjadi salah satu tujuan wisata religius di karenakan di komplek pemakaman ini terdapat makam Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Tholib Al Athas, seorang tokoh penyebar agama Islam di Kota Pekalongan dan sekitarnya. Apalagi setiap hari kamis sore sampai hari jum’at,komplek pemakaman ini penuh sesak dengan para peziarah yang datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Lokasi makam Habib Ahmad bin Abdullah binThalib Al Athas ini sangat mudah di jangkau karena tempatnya sangat strategis. Yakni kurang lebih 100 meter dari jalan Jendral Sudirman. Sekitar 5oo meter dari perempatan Ponolawen ke arah timur, atau sekitar 2 kilometer ke arah barat dari Terminal induk Kota Pekalongan.
Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Al Athas.

     Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Alathas di lahirkan di kota Hajren Hadramaut Yaman pada tahun 1255 hijriyah atau tahun 1836 masehi. Beliau menghabiskan masa remajanya untuk menimba ilmu agama di kota asalnya. Beragam disiplin ilmu agama berhasil beliau raih dengan gemilang. Setelah Habib Ahmad muda menguasai Al Qur’an dan banyak mendalami ilmu-ilmu agama di daerah asalnya, beliau melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama-ulama terkenal yang mukim di Mekkah al Mukaromah dan Madinah Al Munawwaroh. Sekalipun banyak mendapat tempaan ilmu dari banyak guru di kedua kota suci ini, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruhnya bagi pribadi Habib Ahmad adalah As Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Assayyid Ahmad Zaini Dahlan adalah seorang pakar ulama yang sangat banyak muridnya di Mekkah al Mukarromah maupun di negara-negara lainnya. Banyak ulama-ulama dari Indonesia yang juga berguru kepada Assayyid Ahmad Zaini Dahlan. Seperti, Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan Madura dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Kedua ulama ini adalah cikal bakal jamiyyah Nahdlotul Ulama. Setelah selesai dan luluis menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad mendapat tugas dari gurunya untuk berdakwah menyebarkan syariat agama Islam di kota Mekkah. Dikota kelahiran Nabi Saw ini, Habib Ahmad sangat dicintai dan di hormati oleh segala lapisan masyarakat, karena Habib Ahmad berusaha meneladani kehidupan Rosulallah Saw. Habib Ahmad mengajar dan berdakwah di kota Mekkah sekitar tujuh tahun. Setelah itu beliau pulang ke kampung kelahiran beliau,Hadramaut. Tidak lama mukim di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah di Asia Tenggara. Dan pilihan beliau jatuh ke Indonesia. Karena memang pada waktu itu sedang banyak-banyaknya imigran dari Hadramaut yang datang ke Indonesia. Di samping untuk berdagang juga untuk mensyiarkan ajaran Islam. Setibanya Habib Ahmad di Indonesia,beliau memilih tinggal di Pekalongan Jawa Tengah. Karena Habib Ahmad melihat kondisi keagamaan di Pekalongan yang masih sangat minim. Dan saat pertama menginjakkan kakinya di Pekalongan, Habib Ahmad melaksanakan tugas sebagai imam di Masjid Wakaf yang ada di kampung Arab (sekarang Jl. Surabaya). Dari Masjid Wakaf inilah Habib Ahmad memulai dakwah Islamiyyahnya. Dari pengajian kitab-kitab fiqih, pembacaan daiba’i, barzanji, pembacaan wirid,dzikir dan lain sebagainya. Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alathas juga dikenal sebagai ulama hafidz ( penghafal al Qur’an), Habib Ahmad adalah seorang ulama yang selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu),senang bergaul dan gemar bersilaturrohim dengan siapa saja. Habib Ahmad paling tidak senang,bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan dirinya. Kendati demikian, Habib Ahmad tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah dan Rosul-Nya yang di remehkan oleh orang lain. Habib Ahmad sangat teguh dan keras memegang syariat Islam,seperti masalah amar ma’ruf nahi mungkar. Pada zamannya dahulu, Habib Ahmad ibarat Kholifah Umar bin Khothob yang sangat tegas dan keras menentang setiap kemungkaran. Tidak peduli yang berbuat mungkar itu pejabat maupun orang awam. Satu contoh, para wanita tidak akan berani lalu lalang di depan kediaman Habib Ahmad kalau tidak mengenakan tutup kepala (kerudung). Kalau ketahuan oleh Habib Ahmad pasti langsung kena teguran. Tidak peduli wanita muslim ataupun non muslim. Menjelang akhir hayatnya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alathas mengalami patah tulang pada pangkal pahanya,akibat jatuh hingga beliau tidak sanggup berjalan. Sejak saat itu beliau mengalihkan semua kegiatan keagamaannya di kediamannya, termasuk sholat berjamaah dan pengajian. Penderitaan ini berlanjut sampai beliau di panggil pulang ke Ramatullah. Habib Ahmad Bin A bdullah Bin Thalib Alathas meninggal dunia pada malam ahad 24 rajab 1347 hijriyyah atau tahun 1928 masehi. Habib Ahmad meninggal dunia dalam usia 92 tahun. Walaupun Habib Ahmad meninggal dunia pada tanggal 24 rajab, akan tetapi acara khaulnya di peringati setiap tanggal 14 sya’ban, bertepatan dengan malam nisyfu sya’ban.


Masjid Sapuro Didirikan Sejak 294 Tahun Lalu

     Penyebaran agama islam di Pekalongan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya situs bersejarah di Kelurahan Sapuro, Pekalongan Barat, yakni Masjid Jami' Aulia yang hingga kini masih berdiri tegak di tengah pemakaman umum Sapuro. Didepan pintu masjid terdapat prasasti bertuliskan huruf arab yang terbuat dari kayu. Penyebaran agama islam di Pekalongan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya situs bersejarah di Kelurahan Sapuro, Pekalongan Barat, yakni Masjid Jami' Aulia yang hingga kini masih berdiri tegak di tengah pemakaman umum Sapuro. Didepan pintu masjid terdapat prasasti bertuliskan huruf arab yang terbuat dari kayu. Diperkirakan umur masjid tersebut saat ini mencapai 294 tahun. Hal ini dibuktikan dari prasasti yang bertuliskan pada tahun 1135 H measjid itu didirikan. Saat ini sudah memasuki 1429 H. bentuk bangunan masjid itu cukup sederhana. Temboknya bercorak arsitektur Timur Tengah dengan tiga pintu besar dari kayu. Sementara ruang utamanya mengacu pada tradisi Jawa dengan menggunakan empat saka guru yang semuanya menggunakan kayu jati. Untuk memperkokoh bangunan tersebut dilengkapi dengan penyangga dari batu. Kono, kayu - kayu untuk bengunan masjid itu berasal dari sisa pembangunan Masjid Demak masa Walisongo. Sedangkan mimbar untuk khotbah berornamen ukir-ukiran lengkap dengan trap tangga yang merupakan hadiah dari Sunan Kalijaga. Pengelola Masjid Sapuro, Kiai Dananir mengungkapkan ada empat ulama asal Demak yang menyebarkan islam diwilayah Pantura yakni Kyai Maksum, Sulaiman, Lukman dan Nyai Lindung. “Keempat ulama itu membangun masjid di sekitar Alas Roban, Batang. Bahkan fondasi bangunan dan tempat wudhu saat itu sudah dibuat,”ucapnya.
     Dikatakan, mereka berempat mendapat petunjuk dari Allah bahwa nantinya tempat tersebut tak akan ada penghuninya.& ldquo;Pada akhirnya mereka menemukan tempat di Sapuro,” imbuh penjaga masjid, Fauzan. Beberapa waktu setelah itu masjid tersebut dikelola dari generasi ke generasi sampai akhirnya dinamai Masjid Aulia Sapuro. Karena usia masjid cukup tua, akhirnya diberitahukan ke pemerintah pusat melalui dinas pengelolaan museum dan kepurbakalaan, oleh tokoh masyarakat sekitar yakni Basyari Hambali dan Mochmad Aswantari. Sampai sekarang peninggalan itu masih bisa dijumpai di Sapuro, yang di lokasi yang sama juga terdapat Makam Syekh Habib Ahmad yang terus dikunjungi warga masyarakat dari berbagai belahan penjuru Indonesia , termasuk juga dari Timur Tengah. Peringatan Haul Tahunan di sana juga kerapkali dihadiri ulama dari Mesir yang juga merupakan keturunan dari Syekh Habib Ahmad. Makam Sapuro yang memiliki daya magnet dengan didatangi ribuan warga, membuat taraf perekonomian di lingkungan sana bertambah dengan berbagai fasilitas yang dipersiapkan untuk para peziarah, seperti penginapan, aneka aksesoris batik dan lain sebagainya.

Nama-nama Ulama' Di Pekalongan Dan Batang

Nama-nama ulama' Batang dan Pekalongan
Mohon koreksi bila ada kesalahan dalam penulisan gelar, nama, alamat dsb :

Logo NU www.datukiman.com

1. Maulana Maghrobi Sayid Abdullah Syarifuddin bin Hasan Alwi Ba’alawi Wonobodro Bandar Batang
2. Maulana Sayid Ja’far Shodiq bin Tholib bin Shodiq bin Yahya Ba’alawi Sunan Kudus Tsani
3. Maulana Sayid Muhammad Ma’shum bin Tholib bin Shodiq bin Yahya Ba’alawi Kyai Ageng Pekalongan
4. Maulana Sayid Abdussalam Kyai Gede Penatas Angin Pekalongan Pukangan
5. Maulana Syarif Abdullah Maghrobi Syahid Kyai Ageng Rogoselo Pekalongan
6. Maulana Sayid Muhammad bin Hasan bin Yahya Ba’alawi Kyai Gede
7. Pangeran Tanduran Paninggaran
8. Joko Ketandur Wali Gondrongan Wonopringgo
9. Syarifah Ambariyah Bukur
10. Maulana Maghrobi Sayid Ibrohim Bismo Bandar Batang
11. Maulana Maghrobi Sayid Ahmad Bismo Bandar Batang
12. Maulana Sayid Abdul Aziz Setono
13. Maulana Sayid Abdurrohman Setono
14. Maulana Sayid Husein Makam Dowo Medono
15. Kanjeng Sepuh Sayid Husein Among Negoro Bupati Pekalongan Pertama
16. Kanjeng Sepuh Tanjaningrat I bin Pangeran Marmogati Pekalongan
17. Kyai Gede Syekh Hasan Kesesi / Kyai Gede Cempaluk
18. Kyai Ageng Sayid Abdurrohman Gringging – Bandar – Kajoran
19. Kyai Agung Syeh Tholabuddin bin Sayid Husein bin Yahya
20. Sayid Syarif Imam Audh bin Hasan bin Yahya Kyai Agung Lasem
21. Sayid Syarif Mufti Al-Kabir Habib Husein bin Audh bin Hasan bin Yahya
22. Kyai Agung Pekalongan (Wiroto / Wiradesa)
23. Sayid Syarif Habib Muhsin bin Alwi bin Umar Ba’alawi
24. Sayid Ba’alawi Wiroto Pekalongan
25. Sayid Syarif Abdullah Bafaqih Kyai Wage Wiroto
26. Sayid Imam Hasyim bin Salim bin Aqil bin Hasyim bin Yahya Wiroto
27. Sayid Imam Abdullah bin Muhammad bin Syekh bafaqih Ba’alawi Sapuro Pekalongan
28. Sayid Imam Al-Muhaddits Habib Salim bin Aqil bin Yahya Pekalongan
29. Sayid Imam Al-Faqih Al-Muhaddits Habib Aqil bin Hasyim bin Yahya Sapuro
30. Sayid Imam Al-Mujahid Al-Alamah Al-Habib Syaikhon bin Umar bin Yahya Pekalongan
31. Sayid Imam Syarif Idrus bin Syaikhon bin Umar
32. Sayid Imam Al-Khafidz Habib Khamid bin Idrus bin Yahya Ba’alawi
33. Sayid Imam Syaikhon bin Abdullah bin Alwi bin Yahya Pekalongan
34. Sayid Imam Al- Mujahid Habib Umar bin Hamid bin Yahya Kali Salak
35. Sayid Imam Wali Al-Kabir Habib Husein bin Thoha bin Yahya Lampung
36. Sayid Imam Wali Al-Kabir Habib Husein bin Abdullah Banyu Bening
37. Sayid Al-Alamah Habib Idrus bin Muhsin ba’bud Pekalongan
38. Sayid Al-Alamah Habib Abu Bakar bin Idrus Ba’bud Pekalongan
39. Sayid Al-Alamah Hasan bin Yahya Kyai Lungsu
40. Sayid Muhammad bin Abdurrohman bin Yahya Ba’alawi Kyai Gede Noyontaan
41. Sayid Abdullah bin Abdurrohman bin Yahya Ba’alawi Kanzus Sholawat
42. Kyai Agung Surotaman Pekalongan
43. Sayid Syekh Abdullah bin Ja’far Al-Khadlromi
44. Syekh Gambiran / Wali Agung Gambiran
45. Sayidah Al-Alimah Al-Alamah Al-Mujahidah Syarifah Fatimah binti Thoha bin Yahya
46. Sayid Syarif Imam Al-Kabir Habib Abu Bakar bin Thoha bin Yahya Ba’alawi Geritan
47. Sayid Habib Yahya bin Hasan bin Thoha bin Yahya Pekalongan
48. Sayid Muhammad bin Hasan bin Thoha As-Syahid Mbah Surgi Jatikusumo Kedungdowo Batang
49. Sayid Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Yahya Ba’alawi Kedungdowo Batang
50. Kanjeng Kyai Agung Hasan Rohmatillah Raden Aryohadiningrat I Batang
51. Kanjeng Kyai Tejoningrat II Pekalongan
52. Kanjeng Kyai Suryodinegoro I Batang
53. Kanjeng Kyai Suryodinegoro II Pekalongan
54. Habib Al-Alamah Ibrohim Hasan bin Abdul Qadir Hasan Pekalongan
55. Habib Al-Alamah Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ja’far Al-Athas
56. Habib Al-Alamah Abdul Wahab Basyaiban Pekalongan
57. Habib Al-Alamah Muhammad Basyaiban
58. Habib Al-Alamah Abdullah bin Ibrohim bin Zain bin Yahya Pekalongan
59. Habib Al-Alamah Muhammad bin Ibrohim bin Zain bin Yahya
60. Habib Al-Alamah Abdullah bin Yahya bin Ibrohim bin Yahya
61. Habib Al-Alamah Ibrohim bin Yahya bin Ibrohim bin Yahya
62. Habib Imam Ahmad bin Abdullah bin Tholib Al-Athas Ba’alawi Sapuro Pekalongan
63. Habib Husein bin Salim Al-Athas Pekalongan
64. Habib Ahmad bin Abu Bakar bin Syihab Ba’alawi Pekalongan
65. Habib Ahmad Al-Idrus Ba’alawi Pekalongan
66. Habib Ahmad bin Ali bin Yahya Ba’alawi Pekalongan
67. Syekh Muhammad Al-Hindi Pekalongan
68. Habib Sholih bin Muhammad bin Thohir Al-Hadad Ba’alawi Pekalongan
69. Habib Abdurrohman bin Muhammad bin Ibrohim bin Yahya Ba’alawi Pekalongan
70. Habib Ahmad Al-Maghrobi
71. Habib Alwi bin Abdullah Al-Athas Pekalongan
72. Habib Aqil Al-Athas Pekalongan
73. Habib Syekh As-Saqof Ba’alawi
74. Habib Abu Bakar Ba’alawi
75. Habib Abu Bakar
76. Mbah Kyai Nurul Anam Kranji
77. Mbah Kyai Khomsan Landungsari
78. Mbah Kyai Ilyas Sayudan
79. Mbah Kyai Husein Jenggot
80. Mbah Kyai Abdul Aziz Banyuurip
81. Mbah Kyai Masyhudi Banyuurip
82. Mbah Kyai Abdul Lathif Kradenan
83. Mbah Kyai Thohir bin Abdul Lathif Kradenan
84. Mbah Kyai Abdul Manan Kradenan
85. Mbah Kyai Muhammad Amir Simbang Kulon
86. Mbah Kyai Manshur Wonopringgo
87. Mbah Kyai Fadholi Batang
88. Mbah Kyai Maliki Landungsari
89. Mbah Kyai Sailan Landungsari
90. Mbah Kyai Shodiq Poncol
91. Mbah Kyai Idris Krapyak
92. Mbah Kyai Umar Krapyak
93. Mbah Kyai Muhammad Alim Pekalongan (Kyai Mondo)
94. Mbah Kyai Shodiq Keputran
95. Mbah Kyai Abdurrohman Keputran
96. Mbah Kyai Abdul Karim Poncol
97. Mbah Kyai Sholih Poncol
98. Mbah Kyai Siban Poncol
99. Mbah Kyai Murtadho Sampangan
100. Mbah Kyai Abbas Sampangan
101. Mbah Kyai Umar Khottob Sampangan
102. Mbah Kyai Muhammad Idris Keputran
103. Mbah Kyai Agus Kenayagan
104. Mbah Kyai Adam Sepait Sragi
105. Mbah Kyai Utsman Karanganyar Kajen
106. Kyai Jundi Kranji
107. Kyai Thohir bin Abdul Lathif Kradenan
108. Kyai Masyhudi Jenggot
109. Kyai Abdul Malik Banyuurip
110. Kyai Ahmad Khusnan Banyuurip
111. Kyai Kaukab Banyuurip
112. Kyai Mudzakir banyuurip
113. Kyai Zaini Banyuurip
114. Kyai Irfan Kertijayan
115. Kyai Utsman Karanganyar
116. Kyai Anwar Wonopringgo
117. Kyai Dimyathi Wonopringgo
118. Kyai Yahya Surabayan
119. Kyai Thoha Surabayan
120. Kyai Bulqin Surabayan
121. Kyai Hasan Surabayan
122. Kyai Shomad Simbang Jenggot
123. Kyai Munawar Jenggot
124. Kyai Abdul ‘Adhim Jenggot
125. Kyai Nawawi Kemisan
126. Kyai Syafi'i Kemisan
127. Dimyathi Kemisan
128. Kyai Idris bin Muhammad Amir Simbang Kulon
129. Kyai Sholeh bin Muhammad Amir Simbang Kulon
130. Kyai Abdul Fattah bin Thohir Kradenan
131. Kyai Mudzakir Sampangan
132. Kyai Zain Sampangan
133. Kyai Abdul Qadir Kauman
134. Kyai Khobir Kauman
135. Kyai Siroj Njagalan
136. Kyai Masyhadi Sampangan
137. Kyai Muhammad Nur Sampangan
138. Kyai Muzajat Sampangan
139. Kyai Syu’bi Alwi
140. Kyai Akrom Khasani Jenggot
141. Kyai Asy’ari Setono
142. Kyai Sanusi Setono
143. Kyai Utsman Krapyak
144. Kyai Sumairi Krapyak
145. Kyai Sholeh Poncol
146. Kyai Syiban Poncol
147. Kyai Abdul Lathif Medono
148. Kyai Anshor Medono
149. Kyai Masyhadi Njagalan
150. Kyai Hasyim Tirto
151. Kyai Ghufron Akhid Sampangan
152. Kyai Raden Muhammad Amin Sampangan
153. Kyai Muhammad Amin Sampangan
154. Kyai Amin Maizun
155. Kyai Ambari Kauman
156. Kyai Dimyathi Ambari Kauman
157. Habib Abdullah bin Muhammad bin ……… Bafaqih
158. Habib Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Tholib Al-Athas
159. Habib Abdullah Faqih bin Muhammad Al-Athas
160. Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Athas
161. Habib Mualim Muhsin bin Muhammad Al-Athas
162. Habib Yusuf Al-Anqowi Al-Khasani
163. Habib Muhammad bin Yusuf Al-Anqowi Al-Khasani
164. Habib Syeh bin Abdullah Bafaqih
165. Habib Mualim Hasan bin Syekh bin Ali bin Yahya
166. Habib Muhammad Al-Habsyi
167. Habib Muhammad bin Alwi Al-Athas
168. Habib Syekh bin Muhammad As-Saqof
169. Habib Muhammad bin Ahmad As-Saqof
170. Habib Alwi bin Husein bin Syihab
171. Habib Muhsin bin Ali Al-Athas
172. Habib Ahmad bin Umar As-Saqof
173. Syekh Ahmad ………..
174. Syekh Said bin Ahmad ……….
175. Syekh Abdullah …………..
176. Habib Ali bin Hasan Al-Habsyi
177. Habib Hamid Al-Habsyi
178. Habib Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Al-Athas
179. Habib Muhammad bin Husein bin Ahmad Al-Athas
180. Habib Zein bin Abdullah bin Yahya
181. Habib Muhsin bin Abdullah bin Yahya
182. Habib Ali bin Abdurrahman bin Yahya
183. Habib Yahya bin Hasyim bin Yahya
184. Syarifah Khadijah binti Hasyim bin Umar bin Yahya
185. Syarifah Ri’anah binti Abdurrahman Al-Athas
186. Syarifah Thalhah binti Hasyim
187. Syarifah Raqwan binti Hasyim
188. Syarifah Syifa’ binti Hasyim
189. Syarif Fadhlun bin Hasyim
190. Syarif Zein bin Abdurrahman bin Yahya
191. Syarifah Ni’mah binti Husein bin Yahya
192. Syarifah Alawiyah Al-Athas
193. Syarifah Aminah Al-Muhdhor
194. Syarif Muhsin bin Ahmad Syihab
195. Habib Abdullah bin Ali Al-Hinduwan
196. Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Ibrohim bin Yahya
197. Habib Husein bin Ahmad bin Abu Bakar bin Syihab
198. Habib Abdullah bin Ibrohim Al-Athas
199. Habib Muhammad bin Ali bin Syekh bin Yahya
200. Habib Umar bin Abdul Qadir Haddad
201. Habib Ahmad bin Syekh bin Ali bin Yahya
202. Syekh Sholih Nahdi

Selasa, 02 Februari 2016



Logo Thoriqoh. (www.datukiman.com)

Allah Swt. berfirman:

“Barang siapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalam hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Di dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani 
yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
(sufinews)