Segala puji
bagi Allah , sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan
Islam”. (Ali-Imran : 102).
Begitu pula
kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita
mendapat petunjuk.
“Artinya : Ya
Allah, janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami
hidayah”. (Ali Imran : 8).
Dan semoga
shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan
dan kekasih kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah
diutus-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan semoga ridla-Nya selalu
dilimpahkan kepada para sahabatnya yang shalih dan suci, baik dari kalangan
Muhajirin mupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama ada
waktu malam dan siang.
Wa ba’du :
Inilah beberapa kalimat ringkas tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah
Wal-Jama’ah yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam
sehingga mereka terpecah belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai
kelompok (da’wah) kontemporer dan jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda.
Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya ; mengklaim bahwa
diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang
muslim yang masih awam menjadi bingung kepada siapakah dia belajar Islam dan
kepada jama’ah mana dia harus ikut bergabung. Bahkan seorang kafir yang ingin
masuk Islam-pun bingung. Islam apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya
; yakni ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah
diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan
telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia
hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah
yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang Islam : “Islam itu
tertutup oleh kaumnya sendiri”, yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim
tetapi tidak konsisten (menetapi) dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak
mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin
kelanggengan Islam ini dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah
berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).
Maka,
Pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang tetap teguh
(konsisten) memegang ajarannya dan memelihara serta membelanya sebagaimana di
firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari
agamanya (dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang
mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela
…”. (Al-Maaidah : 54).
Dan firman
Allah.
“Artinya :
Ingatlah kamu ini. orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan
Allah. Maka diantara kamu ada yang bakhil barang siapa bakhil berarti dia
bakhil pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang
membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti ( kamu)
dengan kaum selain kalian dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. (Muhammad
: 38).
Golongan atau
jama’ah yang dimaksud adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
“Artinya :
Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka
senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu
membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang
mereka tetap dalam keadaan yang demikian”. (Dikeluarkan oleh Imam
Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam
Nawawy).
Bertolak dari
sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta
pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili
Islam yang benar, Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar
kita bisa mengambil contoh dari berjalan pada jalan mereka dan agar supaya
orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa
bergabung.
AL-FIRQOTUN
NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Pada masa
kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah
umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian,
maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka kemudian
sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum
muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka belum
pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya :
Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah,
supaya mereka bubar”.
Yang kemudian
dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama) :
“Padahal
milik Allah-lah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq
itu tidak memahami”. (Al-Munafiqun : 7).
Demikian
pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din
mereka.
“Artinya :
Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) :
(pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang
beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya,
mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada
kekafiran”. (Ali Imran : 72).
Walaupun
demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah
menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.
Kemudian
mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka berusaha kembali memecah belah
kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum
Anshar tentang permusuhan diantara mereka sebelum datangnya Islam dan perang
sya’ir diantara mereka. Allah membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang
diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir
sesudah kalian beriman”.(Ali Imran : 100).
Sampai pada
firman Allah.
“Artinya :
Pada hari yang diwaktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran
: 106).
Maka kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan
mengingatkan mereka ni’mat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam,
sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah
hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun
Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan demikian gagallah pula makar
Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang
memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan
perpecahan sebagaimana firman-Nya.
“Artinya :
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih
sesudah datangnya keterangan yang jelas ……”.(Ali-Imran : 105).
Dan
firman-Nya pula.
“Artinya :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
berpecah-belah ….”.(Ali-Imran : 103).
Dan
sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan
berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan
dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun telah
memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari
perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita
yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita
tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah
terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.
“Artinya :
Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat
perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan
sunnah Khulafaa’rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan
oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan
shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).
Dan sabdanya
pula.
“Artinya :
Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah
berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan
berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali
satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau
menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para
sahabatku jalani hari ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan
Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam
Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah
hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam
Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).
Sesungguhnya
telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun
perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi
yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya :
Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya,
kemudian yang datang sesudahnya”.(Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan
Muslim 6/juz 16 hal 86-87 Syarah An-Nawawy).
Perawi hadits
ini berkata : “saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya
dua atau tiga kali”.
Yang demikian
tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin,
mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi’in dan pengikut para
tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan
masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga
firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang
melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah
berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk
beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu
ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan
pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka
semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai
ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut
bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga
zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian
kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam
yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada
dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang
keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah
karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para
penentangnya.
Sesungguhnya
kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa
sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh
beliau.
“Artinya :
Mereka yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku
jalani hari ini” (Telah berlalu penjelasannya di atas -peny).
Sesungguhnya
mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka
Allah telah berfirman.
“Artinya :
Maka mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang
mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi
kecuali sebagian kecil diantara orang-orang yang telah kami selamatkan diantara
mereka, dan orang-orang yang dzolim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada
mereka ; dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (Huud : 116).
NAMA-NAMA
AL-FIQOTUN NAAJIYAH DAN ARTINYA
Setelah kita
mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka
tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya
agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama
agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain. Dan diantara nama-namanya
adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh
(golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah
sebagai berikut.
Bahwasanya
kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah
dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan
kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di
atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak masuk kedalam neraka”.(Telah
terdahulu keterangannya)
Bahwasanya
kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu
yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di
sabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka itu adalah
siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari
ini”.(Telah terdahulu keterangannya)
Bahwasanya
pemeluk kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ;
pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut
sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain
karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan
perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak
dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah dan
kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah
dan Al-Murji’ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ;
atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan
Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul
Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan
jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka
tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu
hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang
mampu menyatukan mereka.
Bahwasanya
kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena
gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti
difirmankan Allah : “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong
mereka”. (Muhammad : 7) . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda :“Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan
mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah
Tabaraka wa Ta’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian”. (Telah
terdahulu keterangannya).
Sesungguhnynya
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh
baik dalam itiqad, amal maupun perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung
ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang
oleh para pendahulu umat dari kalangan sahabat, tabi’in dan para pengikut
mereka yang setia.
Prinsip-prinsip
tersebut teringkas dalam butir-butir berikut :
Prinsip
Pertama
Beriman
kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir
dan Taqdir baik dan buruk.
1. Iman
kepada Allah
Beriman
kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta
beriti’qad dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid
al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan segala
apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid
uluuhiyyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan
cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu
disyari’atkan oleh-Nya seperti berdo’a, takut, rojaa’ (harap), cinta, dzabh
(penyembelihan), nadzr (janji), isti’aanah (minta pertolongan), al-istighotsah
(minta bantuan), al-isti’adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji,
berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyari’atkan dan
diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik
seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Sedangkan
makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan
Rasuln-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama
maupun sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan
sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini
kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih(penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian),
dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (Asy-Syuro : 11)
Dan firman
Allah pula.
“Artinya :
Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya”. (Al-A’raf
: 180).
2. Beriman
kepada Para Malaikat-Nya
Yakni
membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk dari
sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan malaikat
dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya
di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.
“Artinya :
….Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dumuliakan, mereka tidak
mendahulu-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”. (Al-Anbiyaa
: 26-27).
“Artinya :
Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua,
tiga dan empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki”. (Faathir
: 1)
3. Iman
kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan
adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah
(petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab
itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang
paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu
Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang
teragung yakni Al-Qur’an yang merupakan mu’jizat yang agung. Allah berfirman.
“Artinya :
Katakanlah (Hai Muhammad) : ‘sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya
walaupun sesama mereka saling bahu membahu”. (Al-isra : 88)
Dan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah mengimani bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah ;
dan dia bukanlah mahluq baik huruf maupun artinya. Berebda dengan pendapat
golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
mahluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asyaa’irah dan
yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman) Allah hanyalah
artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil berdasarkan firman Allah.
“Artinya :
Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur’an)”. (At-Taubah
: 6)
“Artinya :
Mereka itu ingin merubah KALAM Allah”. (Al-Fath : 15)
4. Iman
Kepada Para Rasul
Yakni
membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang
tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut
adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman
kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada Nabi kita secara terperinci
serta mengimani bahwasanya beliau adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak
ada nabi sesudahnya ; maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak
demikian berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul
adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan
harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap
para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu
seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan
Allah.
“Artinya :
Dan orang-orang Yahudi berkata : ‘Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang
Nasharani berkata :’Isa Al-Masih itu anak Allah…”.( At-Taubah : 30)
Sedang
orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka
telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para
pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh
rasul tersebut. Orang-orang Yahudi telah -kafir terhadap Nabi Isa dan Muhammad
‘alaihima shalatu wa sallam ; sedangkan orang-orang Nashara telah kafir kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang-orang yang mengimani
sebagian- mengingkari sebagian (dari para rasul Allah), maka dia telah
mengingkari dengan seluruh rasul, Allah telah berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang kafur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan
bermaksud memperbedakan antara (keimana kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan
mengatakan : Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian
(yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan diantara
yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang
menghinakan”. (An-Nisaa : 150-151).
Dan Allah
juga berfirman.
“Artinya :
Kami tidak mebeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ….”.(Al-Baqarah : 285)
5. Iman
Kepada Hari Akhirat
Yakni
membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah
diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari
kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari
perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan pemberian buku laporan
amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan
neraka. Disamping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh
dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat dari padanya.
Dan sungguh
telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun,
sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan
yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir.
Firman Allah.
“Artinya :
Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata : ‘Sekali-kali tidaklah masuk syurga
kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan
mereka ……”.(Al-Baqarah : 111).
“Artinya :
Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali
hanya dalam beberapa hari saja”. (Al-Baqarah : 80).
6. Iman
kepada taqdir.
Yakni beriman
bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan
terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala
sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta’at, ma’shiyat, itu
telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu
mencintai keta’atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba
Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta’atan atau ma’shiyat, akan
tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat
golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan
pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan
Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri
dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak
hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah
benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya.
“Artinya :
Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah
menghendakinya”. (At-Takwir : 29)
Dengan ayat
ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai banyahan
terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak
Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada
taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba menghadapi cobaan
dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji.
bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya
dari sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip Kedua
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : bahwasanya iman itu
perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan
berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan
perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum
munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan
meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan
orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.
“Artinya :
Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal
hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang
yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)
“Artinya :
……. karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang
dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)
“Artinya :
Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran
tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik
perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka
adalah orang-orang yang berpandangan tajam” (Al-Ankabut : 38)
Bukan pula
iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa
amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah ; Allah
seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam
firman-Nya.
“Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut
nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah
imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang
mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada
mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).
“Artinya :
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al-Baqarah : 143).
Prinsip
Ketiga
Dan diantara
prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak
mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan
perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain
syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya
meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak
dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila
dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika
Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka,
telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa : 48).
Dan madzhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara
Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan
termasuk syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai
mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu
dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan
ta’at dengan adanya kekafiran.
Prinsip
Keempat
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin
kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema’skshiyatan,
apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang
untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana
firman Allah Ta’ala.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada
Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)
Dan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya :
Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar
dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu
takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).
Dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim
itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
sabdanya.
“Artinya :
Barangsiapa yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan
barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan
oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian
pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di
belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka untuk kebaikan dan
keistiqomahan.
Prinsip
Kelima
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah haramnya keluar untuk
memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal
yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini
sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama
belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang
mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa
besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai
amar ma’ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti
ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang
besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak
musuh.
Prinsip
Keenam
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka
terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah
digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan
Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
“Artinya :
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan
janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang
beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai
dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya :
Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku
ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas
sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah
seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhary
3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan
dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun
Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah
memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah
diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan
dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Prinsip
Ketujuh
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai
dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya :
Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan
Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam
kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang
termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu
‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka
setelah menegur mereka.
“Artinya :
Wahai wanita-wanita nabi ……..”.(Al-Ahzab : 32)
Kemudian
mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang
besar, Allah berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya
ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang
sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak
memiliki hak. Allah berfirman.
“Artinya :
Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab
: 1).
Maka sekedar
hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam
ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Hai
kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu
manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak
dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi
Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah
anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat
apapun di hadapan Allah”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim
1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan
saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa
penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan
terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka.
Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau
madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya :
Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan
kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
“Artinya :
Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas
diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku
mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan
ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)
Apabila
Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang
diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang
bathil.
Prinsip
Kedelapan
Dan diantara
prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah para wali
yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka,
berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana
hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedang
golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya
Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang
diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada
zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan
berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk
karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan
para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas,
Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para
hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa
diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud
untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber
pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.
Prinsip
Kesembilan
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu
mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti
apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar
pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat
Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya :
Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang
mendapat petunjuk”. (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah
dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah.
Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang
telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu
dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
“Artinya :
Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa
: 59)
Ahlus Sunnah
tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai
pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini
bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh
berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu
menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan
diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya
permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana
dilakukan orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah. Sungguh mereka tetap
metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai
dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian
yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far’i (cabang) diantara mereka.
Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada
setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.
Penutup
Kemudian
dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa
ber-akhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Diantara
sifat-sifat yang agung itu adalah :
Pertama
Mereka
beramar ma’ruf dan nahi mungkar seperti yang telah diwajibkan syari’at dalam
firman Allah berikut.
“Artinya :
Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf
dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah”. (Ali-Imran : 110).
“Artinya :
Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia
merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya,
dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah
selemah-lemah iman”.(Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy
dari Abu Sa’id Al-Khudry).
Sekali lagi,
amar ma’ruf nahi munkar hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari’at.
Sedangkan golongan Muta’zilah mengeluarkan amar ma’ruf dan nahi munkar dari
apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar
ma’ruf nahi munkar adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila
mereka melakukan ma’shiyat walaupun belum termasuk perbuatan kufur. Sedang
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memandang wajib menasehati mereka dalam hal
kema’shiyatannya tanpa harus memberontak kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam
rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Telah
berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Barangkali hampir tidak
dikenal suatu kelompok keluar memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali
lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemunkaran
(melalui cara pemberontakan tersebut).
Kedua.
Ahlus Sunnah
wal Jama’ah menjaga tetap tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat
Jum’at dan shalat berjama’ah sebagai pembeda terhadap kalangan ahlul bid’ah dan
orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat Jama’ah.
Ketiga
Menegakkan
nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam
kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya :
Ad-Din itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk
Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada
umumnya”.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy, Abu Daud
5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary).
“Artinya :
Mu’min yang satu bagi mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama
lain saling mengokohkan”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim
6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).
Keempat.
Mereka tegar
dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan
bersyukur ketika mendapatkan keni’matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.
Kelima
Bahwasanya
mereka selalu berahlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang
tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka
senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sesuai dengan
firman Allah.
“Artinya :
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (An-Nisaa : 36)
“Artinya :
Sesempurna-sempurna iman seorang mu’min adalah yang baik ahlaknya”. (Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy
dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar
berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati
kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga
shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.
Segala puji
bagi Allah , sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan
Islam”. (Ali-Imran : 102).
Begitu pula
kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita
mendapat petunjuk.
“Artinya : Ya
Allah, janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami
hidayah”. (Ali Imran : 8).
Dan semoga
shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan
dan kekasih kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah
diutus-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan semoga ridla-Nya selalu
dilimpahkan kepada para sahabatnya yang shalih dan suci, baik dari kalangan
Muhajirin mupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama ada
waktu malam dan siang.
Wa ba’du :
Inilah beberapa kalimat ringkas tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah
Wal-Jama’ah yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam
sehingga mereka terpecah belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai
kelompok (da’wah) kontemporer dan jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda.
Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya ; mengklaim bahwa
diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang
muslim yang masih awam menjadi bingung kepada siapakah dia belajar Islam dan
kepada jama’ah mana dia harus ikut bergabung. Bahkan seorang kafir yang ingin
masuk Islam-pun bingung. Islam apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya
; yakni ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah
diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan
telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia
hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah
yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang Islam : “Islam itu
tertutup oleh kaumnya sendiri”, yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim
tetapi tidak konsisten (menetapi) dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak
mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin
kelanggengan Islam ini dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah
berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).
Maka,
Pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang tetap teguh
(konsisten) memegang ajarannya dan memelihara serta membelanya sebagaimana di
firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari
agamanya (dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang
mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela
…”. (Al-Maaidah : 54).
Dan firman
Allah.
“Artinya :
Ingatlah kamu ini. orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan
Allah. Maka diantara kamu ada yang bakhil barang siapa bakhil berarti dia
bakhil pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang
membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti ( kamu)
dengan kaum selain kalian dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. (Muhammad
: 38).
Golongan atau
jama’ah yang dimaksud adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
“Artinya :
Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka
senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu
membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang
mereka tetap dalam keadaan yang demikian”. (Dikeluarkan oleh Imam
Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam
Nawawy).
Bertolak dari
sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta
pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili
Islam yang benar, Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar
kita bisa mengambil contoh dari berjalan pada jalan mereka dan agar supaya
orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa
bergabung.
AL-FIRQOTUN
NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Pada masa
kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah
umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian,
maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka kemudian
sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum
muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka belum
pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya :
Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah,
supaya mereka bubar”.
Yang kemudian
dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama) :
“Padahal
milik Allah-lah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq
itu tidak memahami”. (Al-Munafiqun : 7).
Demikian
pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din
mereka.
“Artinya :
Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) :
(pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang
beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya,
mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada
kekafiran”. (Ali Imran : 72).
Walaupun
demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah
menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.
Kemudian
mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka berusaha kembali memecah belah
kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum
Anshar tentang permusuhan diantara mereka sebelum datangnya Islam dan perang
sya’ir diantara mereka. Allah membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang
diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir
sesudah kalian beriman”.(Ali Imran : 100).
Sampai pada
firman Allah.
“Artinya :
Pada hari yang diwaktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran
: 106).
Maka kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan
mengingatkan mereka ni’mat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam,
sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah
hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun
Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan demikian gagallah pula makar
Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang
memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan
perpecahan sebagaimana firman-Nya.
“Artinya :
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih
sesudah datangnya keterangan yang jelas ……”.(Ali-Imran : 105).
Dan
firman-Nya pula.
“Artinya :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
berpecah-belah ….”.(Ali-Imran : 103).
Dan
sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan
berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan
dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun telah
memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari
perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita
yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita
tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah
terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.
“Artinya :
Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat
perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan
sunnah Khulafaa’rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan
oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan
shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).
Dan sabdanya
pula.
“Artinya :
Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah
berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan
berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali
satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau
menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para
sahabatku jalani hari ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan
Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam
Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah
hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam
Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).
Sesungguhnya
telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun
perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi
yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya :
Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya,
kemudian yang datang sesudahnya”.(Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan
Muslim 6/juz 16 hal 86-87 Syarah An-Nawawy).
Perawi hadits
ini berkata : “saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya
dua atau tiga kali”.
Yang demikian
tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin,
mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi’in dan pengikut para
tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan
masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga
firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang
melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah
berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk
beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu
ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan
pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka
semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai
ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut
bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga
zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian
kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam
yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada
dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang
keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah
karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para
penentangnya.
Sesungguhnya
kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa
sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh
beliau.
“Artinya :
Mereka yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku
jalani hari ini” (Telah berlalu penjelasannya di atas -peny).
Sesungguhnya
mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka
Allah telah berfirman.
“Artinya :
Maka mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang
mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi
kecuali sebagian kecil diantara orang-orang yang telah kami selamatkan diantara
mereka, dan orang-orang yang dzolim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada
mereka ; dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (Huud : 116).
NAMA-NAMA
AL-FIQOTUN NAAJIYAH DAN ARTINYA
Setelah kita
mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka
tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya
agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama
agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain. Dan diantara nama-namanya
adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh
(golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah
sebagai berikut.
Bahwasanya
kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah
dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan
kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di
atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak masuk kedalam neraka”.(Telah
terdahulu keterangannya)
Bahwasanya
kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu
yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di
sabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka itu adalah
siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari
ini”.(Telah terdahulu keterangannya)
Bahwasanya
pemeluk kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ;
pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut
sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain
karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan
perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak
dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah dan
kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah
dan Al-Murji’ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ;
atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan
Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul
Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan
jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka
tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu
hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang
mampu menyatukan mereka.
Bahwasanya
kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena
gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti
difirmankan Allah : “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong
mereka”. (Muhammad : 7) . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda :“Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan
mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah
Tabaraka wa Ta’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian”. (Telah
terdahulu keterangannya).
Sesungguhnynya
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh
baik dalam itiqad, amal maupun perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung
ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang
oleh para pendahulu umat dari kalangan sahabat, tabi’in dan para pengikut
mereka yang setia.
Prinsip-prinsip
tersebut teringkas dalam butir-butir berikut :
Prinsip
Pertama
Beriman
kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir
dan Taqdir baik dan buruk.
1. Iman
kepada Allah
Beriman
kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta
beriti’qad dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid
al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan segala
apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid
uluuhiyyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan
cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu
disyari’atkan oleh-Nya seperti berdo’a, takut, rojaa’ (harap), cinta, dzabh
(penyembelihan), nadzr (janji), isti’aanah (minta pertolongan), al-istighotsah
(minta bantuan), al-isti’adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji,
berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyari’atkan dan
diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik
seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Sedangkan
makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan
Rasuln-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama
maupun sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan
sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini
kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih(penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian),
dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (Asy-Syuro : 11)
Dan firman
Allah pula.
“Artinya :
Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya”. (Al-A’raf
: 180).
2. Beriman
kepada Para Malaikat-Nya
Yakni
membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk dari
sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan malaikat
dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya
di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.
“Artinya :
….Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dumuliakan, mereka tidak
mendahulu-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”. (Al-Anbiyaa
: 26-27).
“Artinya :
Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua,
tiga dan empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki”. (Faathir
: 1)
3. Iman
kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan
adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah
(petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab
itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang
paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu
Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang
teragung yakni Al-Qur’an yang merupakan mu’jizat yang agung. Allah berfirman.
“Artinya :
Katakanlah (Hai Muhammad) : ‘sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya
walaupun sesama mereka saling bahu membahu”. (Al-isra : 88)
Dan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah mengimani bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah ;
dan dia bukanlah mahluq baik huruf maupun artinya. Berebda dengan pendapat
golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
mahluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asyaa’irah dan
yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman) Allah hanyalah
artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil berdasarkan firman Allah.
“Artinya :
Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur’an)”. (At-Taubah
: 6)
“Artinya :
Mereka itu ingin merubah KALAM Allah”. (Al-Fath : 15)
4. Iman
Kepada Para Rasul
Yakni
membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang
tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut
adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman
kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada Nabi kita secara terperinci
serta mengimani bahwasanya beliau adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak
ada nabi sesudahnya ; maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak
demikian berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul
adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan
harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap
para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu
seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan
Allah.
“Artinya :
Dan orang-orang Yahudi berkata : ‘Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang
Nasharani berkata :’Isa Al-Masih itu anak Allah…”.( At-Taubah : 30)
Sedang
orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka
telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para
pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh
rasul tersebut. Orang-orang Yahudi telah -kafir terhadap Nabi Isa dan Muhammad
‘alaihima shalatu wa sallam ; sedangkan orang-orang Nashara telah kafir kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang-orang yang mengimani
sebagian- mengingkari sebagian (dari para rasul Allah), maka dia telah
mengingkari dengan seluruh rasul, Allah telah berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang kafur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan
bermaksud memperbedakan antara (keimana kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan
mengatakan : Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian
(yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan diantara
yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang
menghinakan”. (An-Nisaa : 150-151).
Dan Allah
juga berfirman.
“Artinya :
Kami tidak mebeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ….”.(Al-Baqarah : 285)
5. Iman
Kepada Hari Akhirat
Yakni
membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah
diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari
kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari
perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan pemberian buku laporan
amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan
neraka. Disamping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh
dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat dari padanya.
Dan sungguh
telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun,
sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan
yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir.
Firman Allah.
“Artinya :
Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata : ‘Sekali-kali tidaklah masuk syurga
kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan
mereka ……”.(Al-Baqarah : 111).
“Artinya :
Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali
hanya dalam beberapa hari saja”. (Al-Baqarah : 80).
6. Iman
kepada taqdir.
Yakni beriman
bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan
terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala
sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta’at, ma’shiyat, itu
telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu
mencintai keta’atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba
Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta’atan atau ma’shiyat, akan
tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat
golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan
pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan
Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri
dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak
hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah
benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya.
“Artinya :
Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah
menghendakinya”. (At-Takwir : 29)
Dengan ayat
ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai banyahan
terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak
Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada
taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba menghadapi cobaan
dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji.
bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya
dari sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip Kedua
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : bahwasanya iman itu
perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan
berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan
perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum
munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan
meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan
orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.
“Artinya :
Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal
hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang
yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)
“Artinya :
……. karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang
dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)
“Artinya :
Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran
tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik
perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka
adalah orang-orang yang berpandangan tajam” (Al-Ankabut : 38)
Bukan pula
iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa
amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah ; Allah
seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam
firman-Nya.
“Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut
nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah
imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang
mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada
mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).
“Artinya :
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al-Baqarah : 143).
Prinsip
Ketiga
Dan diantara
prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak
mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan
perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain
syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya
meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak
dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila
dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika
Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka,
telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa : 48).
Dan madzhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara
Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan
termasuk syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai
mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu
dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan
ta’at dengan adanya kekafiran.
Prinsip
Keempat
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin
kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema’skshiyatan,
apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang
untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana
firman Allah Ta’ala.
“Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada
Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)
Dan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya :
Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar
dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu
takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).
Dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim
itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
sabdanya.
“Artinya :
Barangsiapa yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan
barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan
oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian
pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di
belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka untuk kebaikan dan
keistiqomahan.
Prinsip
Kelima
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah haramnya keluar untuk
memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal
yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini
sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama
belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang
mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa
besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai
amar ma’ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti
ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang
besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak
musuh.
Prinsip
Keenam
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka
terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah
digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan
Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
“Artinya :
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan
janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang
beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai
dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya :
Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku
ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas
sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah
seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhary
3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan
dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun
Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah
memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah
diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan
dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Prinsip
Ketujuh
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai
dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya :
Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan
Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam
kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang
termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu
‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka
setelah menegur mereka.
“Artinya :
Wahai wanita-wanita nabi ……..”.(Al-Ahzab : 32)
Kemudian
mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang
besar, Allah berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya
ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang
sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak
memiliki hak. Allah berfirman.
“Artinya :
Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab
: 1).
Maka sekedar
hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam
ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Hai
kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu
manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak
dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi
Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah
anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat
apapun di hadapan Allah”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim
1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan
saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa
penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan
terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka.
Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau
madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya :
Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan
kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
“Artinya :
Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas
diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku
mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan
ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)
Apabila
Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang
diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang
bathil.
Prinsip
Kedelapan
Dan diantara
prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah para wali
yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka,
berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana
hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedang
golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya
Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang
diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada
zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan
berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk
karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan
para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas,
Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para
hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa
diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud
untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber
pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.
Prinsip
Kesembilan
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu
mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti
apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar
pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat
Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya :
Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang
mendapat petunjuk”. (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah
dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah.
Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang
telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu
dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
“Artinya :
Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa
: 59)
Ahlus Sunnah
tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai
pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini
bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh
berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu
menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan
diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya
permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana
dilakukan orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah. Sungguh mereka tetap
metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai
dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian
yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far’i (cabang) diantara mereka.
Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada
setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.
Penutup
Kemudian
dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa
ber-akhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Diantara
sifat-sifat yang agung itu adalah :
Pertama
Mereka
beramar ma’ruf dan nahi mungkar seperti yang telah diwajibkan syari’at dalam
firman Allah berikut.
“Artinya :
Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf
dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah”. (Ali-Imran : 110).
“Artinya :
Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia
merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya,
dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah
selemah-lemah iman”.(Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy
dari Abu Sa’id Al-Khudry).
Sekali lagi,
amar ma’ruf nahi munkar hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari’at.
Sedangkan golongan Muta’zilah mengeluarkan amar ma’ruf dan nahi munkar dari
apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar
ma’ruf nahi munkar adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila
mereka melakukan ma’shiyat walaupun belum termasuk perbuatan kufur. Sedang
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memandang wajib menasehati mereka dalam hal
kema’shiyatannya tanpa harus memberontak kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam
rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Telah
berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Barangkali hampir tidak
dikenal suatu kelompok keluar memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali
lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemunkaran
(melalui cara pemberontakan tersebut).
Kedua.
Ahlus Sunnah
wal Jama’ah menjaga tetap tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat
Jum’at dan shalat berjama’ah sebagai pembeda terhadap kalangan ahlul bid’ah dan
orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat Jama’ah.
Ketiga
Menegakkan
nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam
kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya :
Ad-Din itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk
Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada
umumnya”.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy, Abu Daud
5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary).
“Artinya :
Mu’min yang satu bagi mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama
lain saling mengokohkan”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim
6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).
Keempat.
Mereka tegar
dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan
bersyukur ketika mendapatkan keni’matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.
Kelima
Bahwasanya
mereka selalu berahlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang
tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka
senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sesuai dengan
firman Allah.
“Artinya :
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (An-Nisaa : 36)
“Artinya :
Sesempurna-sempurna iman seorang mu’min adalah yang baik ahlaknya”. (Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy
dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar
berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati
kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga
shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.